Indonesia tercatat sebagai Negara
yang mempunyai lahan gambut terluas
di antara negara tropis, yaitu sekitar 14,9 juta ha
yang tersebar di Pulau Sumatera,
Kalimantan dan Papua (BBSDLP, 2011a). Dalam kondisi hutan alami, lahan gambut berperan sebagai penambat (sequester)
karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer,
walaupun proses penambatan berjalan sangat lambat (0-3 mm gambut per tahun)
(Parishet al., 2007) atau setara
dengan penambatan 0-5,4 ton CO2/ha/tahun (Agus, 2009).
Namun, apabila
hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon yang tersimpan pada gambut akan dengan mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu
gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami
penurunan permukaan (subsidence)
apabila hutan gambut terbuka. Oleh sebab itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang
apabila akan mengalih fungsikan lahan gambut.
Lahan gambut yang masih berupa tutupan hutan, merupakan habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi lahan
gambut menyimpan karbon (C ) dalam jumlah besar, baik di atas maupun dibawah
permukaan tanah. Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam hidrologi kawasan
hilir suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) karena mampu menyerap air sampai
13 kali lipat dari bobotnya. Kerusakan ekosistem gambut akan
berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya
(ex situ). Kejadian banjir di hilir
DAS merupakan salah satu dampak rusaknya ekosistem gambut. Deforestrasi hutan
dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase
dalam (>50cm) serta pembakaran atau kebakaran menyebabkan emisi CO2
menjadi sangat tinggi (Agus dan Subiksa, 2008). Pengalih fungsian lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem
lahan gambut tersebut.
Perluasan pemanfaatan lahan gambut sebagai sumber mata
pencaharian meningkat begitu pesat di beberapa Provinsi yang memiliki areal gambut
luas, seperti Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982
sampai 2007 telah dialih fungsikan seluas 1,83 juta hutan gambut dari luas total lahan gambut
3,8 juta ha di provinsi tersebut, bahkan laju pengalih fungsian lahan gambut cenderung melampaui pengalih
fungsian hutan lahan mineral
(WWF, 2008).
Tidak semua lahan gambut yang dialih fungsikan tersebut dimanfaatkan,
hampir sebagian lahan gambut berubah menjadi lahan gambut terdegradasi yang
ditutupi semak belukar, alang-alang dan paku resam. Lahan gambut terdegradasi ini tetap menjadi
sumber emisi disebabkan karena masih terpengaruh oleh drainase dan peka
terhadap kebakaran di musim kemarau panjang. Oleh karena itu diperlukan
pemetaan dan penyusunan strategi pengelolaan lahan gambut terdegradasi yang
akan dijadikan sebagai dasar pengelolaan lahan gambut terdegradasi agar
emisinya dapat diminimalkan dan manfaat ekonominya dapat ditingkatkan.
Lahan gambut yang terdegradasi
secara eksisting dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dengan beberapa model
atau basis usahatani, meliputi pangan, perkebunan bahkan kehutanan. Sesuai potensi sosial, ekonomi dan
lingkungan perlu dievaluasi kinerjanya, termasuk bagaimana peluang dari
aplikasi demplot, apakah model demplot tersebut sesuai berdasarkan aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan. Model
yang diaplikasikan di demplot perlu dievaluasi, apakah teknologi tersebut
berdampak terhadap peningkatan produktivitas, mampu menurunkan tingkat
emisi. Kalau kinerja demplot mampu
meningkatkan produktivitas dan dapat menekan emisi, seberapakah model tersebut
akan berkelanjutan ? berdasarkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Pengelolaan air merupakan
salah satu komponen paling penting dalam pemanfaatan lahan gambut untuk
pertanian. Dengan menerapkan teknologi
pengelolaan air yang tepat maka dampak negatif pemanfaatan lahan gambut untuk
pertanian (terutama emisi GRK dan subsiden) dapat dikurangi sampai seminimal mungkin.
Perluasan areal pertanian
terkendala oleh terbatasnya lahan-lahan yang sesuai sehingga terpaksa mengarah
pada lahan-lahan sub optimal, termasuk lahan gambut. Indonesia mempunyai lahan gambut tropis terluas
didunia, yaitu
sekitar
14,9
juta hektar
yang tersebar diSumatera,K alimantan, dan
Papua. Hasil karakterisasi lahan
menunjukkan sekitar 6 juta ha diantaranya cukup sesuai untuk pengembangan
pertanian bila dilakukan reklamasi. Sampai saat ini sebagian lahan ini sudah
dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.
Namun secara inheren, lahan
gambut memiliki daya dukung rendah terhadap pertumbuhan tanaman, baik dari
aspek fisik, kimia maupun biologi tanahnya.Bulk
density yang rendah menyebabkan kapasitas sangga (bearing capacity) rendah sehingga tanaman mudah roboh. Sifatnya
yang masam, miskin hara serta kandungan asam organic fenolat yang tinggi
menyebabkan perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman terganggu. Karena masam
dan miskin hara, aktivitas biologi tanah juga sangat terbatas baik jenis maupun
populasinya. Resultante dari semua sifat tanah ini menyebabkan gambut tergolong
lahan marginal dan rapuh. Proses dekomposisi gambut yang disebabkan oleh
aktivitas biologi menyebabkan emisi karbon dari lahan gambut tergolong tinggi.
Dalam dua dekade terakhir,
pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi polemik global. Pemanfaatan
lahan gambut menjadi dilematis karena terjadi pertentangan antara aspek ekonomi
dan aspek lingkungan. Dari aspek ekonomi, jelas bahwa pemanfaatan lahan gambut
telah menjadi sumber pendapatan bagi petani, perkebunan dan pemerintah daerah. Namun
dari aspek lingkungan, pemanfaatan lahan gambut menjadi sumber emisigas rumah
kaca (GRK) penyebab pemanasan global.
Fenomena
pemanasan global dipicu oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca
antropogenik di atmosfer. Sektor pertanian merupakan sumber dan rosot karbon
gas rumah kaca yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4),
dan dinitrogen oksida (N2O). Kontribusi gas CO2, CH4, N2O terhadap
pemanasan global masing-masing adalah
55%, 15%, 6%.
Karbon dioksida (CO2) terbentuk melalui
proses respirasi tanaman dan respirasi akar oleh mikroorganisme. CO2
merupakan bahan utama dalam proses fotosintesis, yaitu konversi CO2 menjadi
bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Metana (CH4) terbentuk
melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik dalam tanah dan reduksi CO2
dan H2 yang melibatkan mikroorganisme methanogen (Methanobacterium, Methanosarcina, Methanobrevibacter,
Methanoculleus, Methanogenium, Methanosaeta dan Methanospirillum). Dinitrogen oksida (N2O)
terbentuk melalui proses mikrobiologis nitrifikasi dan denitrifikasi di dalam
tanah.
Bahan organik yang telah mati dirombak menjadi CO2
dan H2O, dan sebagian hasil perombakan bahan organik disimpan dalam
bentuk C-organik dalam tanah dan direspirasikan dalam bentuk CO2.
Proses penyerapan CO2 dari atmosfer ke dalam tanah secara biotik dan
pelepasan CO2 dari tanah kembali ke atmosfer terjadi melalui proses
difusi dan dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kadar air dalam tanah.
Pegelolaan
lahan gambut yang tepat akan dapat mengantisipasi kehilangan
karbon atau emisi CO2 akibat
terjadinya proses dekomposisi dan terbakarnya gambut. Lahan gambut yang mengalami proses
dekomposisi dan tebakar akan menyebabkan terjadinya penurunan permukaan lahan (subsidence) yang
cepat dan kehilangan karbon yang banyak, akhirnya membentuk
cekungan sehingga
lahan tersebut tidak mungkin lagi didrainase. Dalam keadaan demikian, lahan tidak akan bisa lagi digunakan untuk sebagai komoditas pertanian dan
kemampuannya untuk menyerap dan menyimpan air juga akan menurun sehingga lahan mudah kebanjiran dan
kekeringan. Untuk itu diperlukan sistem pengendalian dan pencegahan
terjadinya dekomposisi yang berlebihan dan kebakaran lahan gambut, sehingga dapat memperpanjang masa pakai lahan gambut, dan sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.
Emisi karbon dari lahan
gambut ditengarai sebagai penyumbang terbesar emisi karbon di Indonesia dan
menjadikan Indonesia sebagai emiter terbesar ketiga di dunia. Sampai saat ini,
data emisi karbon dari lahan gambut masih diduga mengandung ketidakpastian yang
tinggi. Hal ini disebabkan karena data spasial dan karakteristik lahan gambut
masih sangat terbatas. Perhitungan nilai total emisi dari lahan gambut
didasarkan atas generalisasi kondisi gambut di Indonesia. Salah satu isu utama adalah emisi Gas Rumah
Kaca (GRK) dari lahan gambut terutama disebabkan karena kebakaran gambut dan
dekomposisi yang dipicu oleh pembukaan lahan untuk pertanian.
Pengukuran emisi karbon langsung di lahan menjadi sangat
penting untuk mengurangi ketidak pastian (uncertainties)
dan memperoleh hasil yang akurat. Pengukuran emisi karbon secara periodik dalam
jangka panjang (time series) masih
sangat jarang dilakukan karena keterbatasan alat dan kapasitas sumberdaya
manusia (SDM) dan institusi yang terampil dan terlatih. Selain itu, pengetahuan
besarnya cadangan karbon di berbagai penggunaan lahan gambut menjadi penting
karena dapat memberikan data dukung banyak karbon tersimpan dan hilangnya
karbon dari tanah dan tanaman. Untuk itu, kegiatan peningkatan kemampuan SDM (capasity building) untuk melakukan pengukuran
emisi, cadangan karbon dan kegiatan pendukung lainnya sangat mendesak dilakukan
karena menyangkut area sangat luas dan tingkat kesulitan yang tinggi. Oleh
karenanya perlu dilakukan pelatihan intensif terhadap warga-warga di daerah
agar mereka memahami secara teoritis maupun melakukan pengukuran emisi,
cadangan karbon secara tepat dalam upaya pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.
Upaya
peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah dilakukan melalui
serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan menjadi
kunci peningkatan produktivitas lahan. Drainase yang disesuaikan dengan
kebutuhan tanaman mampu mengurangi kondisi drainase berlebihan (over drained) yang memicu emisi karbon.
Pengalaman empiris, baik oleh petani maupun lembaga penelitian menunjukkan
bahwa pupuk kandang serta bahan amelioran yang kaya dengan kation polivalen
menjadi amelioran yang sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas lahan
dan stabilitas gambut. Stabilitas gambut sangat terkait dengan adanya proses
kompleksasi asam-asam organik sehingga lebih tahan terhadap degradasi sehingga
emisi karbon berkurang. Kompleksasi asam-asam organic fenolat oleh kation polivalen mengurangi sifat meracun
asam-asam tersebut sehingga perkembangan akar tanaman tidak terganggu. Pemupukan
dengan pupuk makro dan mikro penting untuk memenuhi kebutuhan hara
tanaman.Ameliorasi dan pemupukan bersifat sinergis karena ameliorasi
meningkatkan efektivitas pemupukan.
Mengingat
bahwa pemanfaatan lahan gambut adalah suatu yang dilematis, maka pengelolaannya
harus dilakukan secara terencana
didukung oleh teknologi yang teruji dapat menurunkan atau memperkecil
emisi GRK, namun secara simultan dapat meningkatkan produktivitas dan
keuntungan usaha tani.
(Disadur dari Juknis Kegiatan Penelitian
Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) Kementan oleh Syahri).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar