.post img{-o-transition:all 1.5s ease;-moz-transition:all 1.5s ease;-webkit-transition:all 1.5s ease}.post img:hover{-o-transform:scale(1.2) rotate(360deg) translate(0px);-moz-transform:scale(1.2) rotate(360deg) translate(0px);-webkit-transform:scale(1.2) rotate(360deg) translate(0px);-o-transition:all 1.5s ease;-moz-transition:all 1.5s ease;-webkit-transition:all 1.5s ease}}

Pages

Minggu, 19 Mei 2013

Kerusakan Ekosistem Lahan Gambut, Memicu Pemanasan Global


Indonesia tercatat sebagai Negara yang mempunyai lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 14,9 juta ha yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua (BBSDLP, 2011a). Dalam kondisi hutan alami, lahan gambut berperan sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat lambat (0-3 mm gambut per tahun) (Parishet al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 ton CO2/ha/tahun (Agus, 2009). Namun, apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon yang tersimpan pada gambut akan dengan mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsidence) apabila hutan gambut terbuka. Oleh sebab itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengalih fungsikan lahan gambut.

Lahan gambut yang masih berupa tutupan hutan, merupakan habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi lahan gambut menyimpan karbon (C ) dalam jumlah besar, baik di atas maupun dibawah permukaan tanah. Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam hidrologi kawasan hilir suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Kerusakan ekosistem gambut akan berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS merupakan salah satu dampak rusaknya ekosistem gambut. Deforestrasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam (>50cm) serta pembakaran atau kebakaran menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi (Agus dan Subiksa, 2008). Pengalih fungsian lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut.

Perluasan pemanfaatan lahan gambut sebagai sumber mata pencaharian meningkat begitu pesat di beberapa Provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur  dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dialih fungsikan seluas 1,83 juta hutan gambut dari luas total lahan gambut 3,8 juta ha di provinsi tersebut, bahkan laju pengalih fungsian lahan gambut cenderung melampaui pengalih fungsian hutan lahan mineral (WWF, 2008).

Tidak semua lahan gambut yang dialih fungsikan tersebut dimanfaatkan, hampir sebagian lahan gambut berubah menjadi lahan gambut terdegradasi yang ditutupi semak belukar, alang-alang dan paku resam.  Lahan gambut terdegradasi ini tetap menjadi sumber emisi disebabkan karena masih terpengaruh oleh drainase dan peka terhadap kebakaran di musim kemarau panjang. Oleh karena itu diperlukan pemetaan dan penyusunan strategi pengelolaan lahan gambut terdegradasi yang akan dijadikan sebagai dasar pengelolaan lahan gambut terdegradasi agar emisinya dapat diminimalkan dan manfaat ekonominya dapat ditingkatkan.

Lahan gambut yang terdegradasi secara eksisting dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dengan beberapa model atau basis usahatani, meliputi pangan, perkebunan bahkan kehutanan.   Sesuai potensi sosial, ekonomi dan lingkungan perlu dievaluasi kinerjanya, termasuk bagaimana peluang dari aplikasi demplot, apakah model demplot tersebut sesuai berdasarkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.  Model yang diaplikasikan di demplot perlu dievaluasi, apakah teknologi tersebut berdampak terhadap peningkatan produktivitas, mampu menurunkan tingkat emisi.  Kalau kinerja demplot mampu meningkatkan produktivitas dan dapat menekan emisi, seberapakah model tersebut akan berkelanjutan ? berdasarkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Pengelolaan air merupakan salah satu komponen paling penting dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian.  Dengan menerapkan teknologi pengelolaan air yang tepat maka dampak negatif pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian (terutama emisi GRK dan subsiden) dapat dikurangi sampai  seminimal mungkin.

Perluasan areal pertanian terkendala oleh terbatasnya lahan-lahan yang sesuai sehingga terpaksa mengarah pada lahan-lahan sub optimal, termasuk lahan gambut. Indonesia mempunyai lahan gambut tropis terluas didunia, yaitu sekitar 14,9 juta hektar yang tersebar diSumatera,K alimantan, dan Papua. Hasil karakterisasi lahan menunjukkan sekitar 6 juta ha diantaranya cukup sesuai untuk pengembangan pertanian bila dilakukan reklamasi. Sampai saat ini sebagian lahan ini sudah dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.

Namun secara inheren, lahan gambut memiliki daya dukung rendah terhadap pertumbuhan tanaman, baik dari aspek fisik, kimia maupun biologi tanahnya.Bulk density yang rendah menyebabkan kapasitas sangga (bearing capacity) rendah sehingga tanaman mudah roboh. Sifatnya yang masam, miskin hara serta kandungan asam organic fenolat  yang tinggi menyebabkan perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman terganggu. Karena masam dan miskin hara, aktivitas biologi tanah juga sangat terbatas baik jenis maupun populasinya. Resultante dari semua sifat tanah ini menyebabkan gambut tergolong lahan marginal dan rapuh. Proses dekomposisi gambut yang disebabkan oleh aktivitas biologi menyebabkan emisi karbon dari lahan gambut tergolong tinggi.

Dalam dua dekade terakhir, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi polemik global. Pemanfaatan lahan gambut menjadi dilematis karena terjadi pertentangan antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dari aspek ekonomi, jelas bahwa pemanfaatan lahan gambut telah menjadi sumber pendapatan bagi petani, perkebunan dan pemerintah daerah. Namun dari aspek lingkungan, pemanfaatan lahan gambut menjadi sumber emisigas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global.

Fenomena pemanasan global dipicu oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca antropogenik di atmosfer. Sektor pertanian merupakan sumber dan rosot karbon gas rumah kaca yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Kontribusi gas CO2, CH4, N2O terhadap pemanasan global masing-masing adalah  55%, 15%, 6%.

Karbon dioksida (CO2) terbentuk melalui proses respirasi tanaman dan respirasi akar oleh mikroorganisme. CO2 merupakan bahan utama dalam proses fotosintesis, yaitu konversi CO2 menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Metana (CH4) terbentuk melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik dalam tanah dan reduksi CO2 dan H2 yang melibatkan mikroorganisme methanogen (Methanobacterium, Methanosarcina, Methanobrevibacter, Methanoculleus, Methanogenium, Methanosaeta dan Methanospirillum). Dinitrogen oksida (N2O) terbentuk melalui proses mikrobiologis nitrifikasi dan denitrifikasi di dalam tanah.

Bahan organik yang telah mati dirombak menjadi CO2 dan H2O, dan sebagian hasil perombakan bahan organik disimpan dalam bentuk C-organik dalam tanah dan direspirasikan dalam bentuk CO2. Proses penyerapan CO2 dari atmosfer ke dalam tanah secara biotik dan pelepasan CO2 dari tanah kembali ke atmosfer terjadi melalui proses difusi dan dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kadar air dalam tanah.

Pegelolaan lahan gambut yang tepat akan dapat mengantisipasi  kehilangan  karbon atau emisi  CO2 akibat terjadinya proses dekomposisi dan terbakarnya gambut. Lahan gambut yang mengalami proses dekomposisi dan tebakar akan menyebabkan terjadinya penurunan permukaan lahan (subsidence) yang cepat dan kehilangan karbon yang banyak,  akhirnya membentuk cekungan sehingga lahan tersebut tidak mungkin lagi didrainase. Dalam keadaan demikian, lahan tidak akan bisa lagi digunakan untuk sebagai komoditas pertanian dan kemampuannya untuk menyerap dan menyimpan air juga akan menurun sehingga lahan mudah kebanjiran dan kekeringan. Untuk itu diperlukan sistem pengendalian dan pencegahan terjadinya dekomposisi yang berlebihan dan kebakaran lahan gambut, sehingga dapat memperpanjang masa pakai lahan gambut, dan  sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.

Emisi karbon dari lahan gambut ditengarai sebagai penyumbang terbesar emisi karbon di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai emiter terbesar ketiga di dunia. Sampai saat ini, data emisi karbon dari lahan gambut masih diduga mengandung ketidakpastian yang tinggi. Hal ini disebabkan karena data spasial dan karakteristik lahan gambut masih sangat terbatas. Perhitungan nilai total emisi dari lahan gambut didasarkan atas generalisasi kondisi gambut di Indonesia.  Salah satu isu utama adalah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari lahan gambut terutama disebabkan karena kebakaran gambut dan dekomposisi yang dipicu oleh pembukaan lahan untuk pertanian.

          Pengukuran emisi karbon langsung di lahan menjadi sangat penting untuk mengurangi ketidak pastian (uncertainties) dan memperoleh hasil yang akurat. Pengukuran emisi karbon secara periodik dalam jangka panjang (time series) masih sangat jarang dilakukan karena keterbatasan alat dan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) dan institusi yang terampil dan terlatih. Selain itu, pengetahuan besarnya cadangan karbon di berbagai penggunaan lahan gambut menjadi penting karena dapat memberikan data dukung banyak karbon tersimpan dan hilangnya karbon dari tanah dan tanaman. Untuk itu, kegiatan peningkatan kemampuan SDM (capasity building) untuk melakukan pengukuran emisi, cadangan karbon dan kegiatan pendukung lainnya sangat mendesak dilakukan karena menyangkut area sangat luas dan tingkat kesulitan yang tinggi. Oleh karenanya perlu dilakukan pelatihan intensif terhadap warga-warga di daerah agar mereka memahami secara teoritis maupun melakukan pengukuran emisi, cadangan karbon secara tepat dalam upaya pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

          Upaya peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah dilakukan melalui serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan menjadi kunci peningkatan produktivitas lahan. Drainase yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman mampu mengurangi kondisi drainase berlebihan (over drained) yang memicu emisi karbon. Pengalaman empiris, baik oleh petani maupun lembaga penelitian menunjukkan bahwa pupuk kandang serta bahan amelioran yang kaya dengan kation polivalen menjadi amelioran yang sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas lahan dan stabilitas gambut. Stabilitas gambut sangat terkait dengan adanya proses kompleksasi asam-asam organik sehingga lebih tahan terhadap degradasi sehingga emisi karbon berkurang. Kompleksasi asam-asam organic fenolat oleh kation polivalen mengurangi sifat meracun asam-asam tersebut sehingga perkembangan akar tanaman tidak terganggu. Pemupukan dengan pupuk makro dan mikro penting untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman.Ameliorasi dan pemupukan bersifat sinergis karena ameliorasi meningkatkan efektivitas pemupukan.

Mengingat bahwa pemanfaatan lahan gambut adalah suatu yang dilematis, maka pengelolaannya harus dilakukan secara terencana  didukung oleh teknologi yang teruji dapat menurunkan atau memperkecil emisi GRK, namun secara simultan dapat meningkatkan produktivitas dan keuntungan usaha tani.
(Disadur dari Juknis Kegiatan Penelitian Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) Kementan oleh Syahri).

Tidak ada komentar: