.post img{-o-transition:all 1.5s ease;-moz-transition:all 1.5s ease;-webkit-transition:all 1.5s ease}.post img:hover{-o-transform:scale(1.2) rotate(360deg) translate(0px);-moz-transform:scale(1.2) rotate(360deg) translate(0px);-webkit-transform:scale(1.2) rotate(360deg) translate(0px);-o-transition:all 1.5s ease;-moz-transition:all 1.5s ease;-webkit-transition:all 1.5s ease}}

Pages

Rabu, 24 Februari 2016

Potensi dan Hambatan Bertani Bawang Merah di Lahan Gambut

Oleh : Muhammad Syahri Mubarok, SST.
Bawang merah (Allium ascalonicum L) merupakan salah satu komoditas tanaman hortikultura yang banyak dikonsumsi manusia sebagai campuran bumbu masak setelah cabe. Selain sebagai campuran bumbu masak, bawang merah juga dijual dalam bentuk olahan seperti ekstrak bawang merah, bubuk, minyak atsiri, bawang goreng. Bahkan menurut beberapa penelitian, bawang merah berkhasiat bagi kesehatan. Oleh sebab itu, bawang merah termasuk ke dalam komoditas tanaman hortikultura yang sering digunakan oleh masyarakat. Potensi pengembangan bawang merah pun masih terbuka lebar, tidak saja untuk kebutuhan dalam negeri tetapi juga luar negeri. Jika komoditas bawang merah ini diusahakan, maka akan menjadi salah satu komoditas hortikultura yang menguntungkan.
Luas lahan gambut Indonesia menurut buku “Peta Lahan Gambut Indonesia” yang dikeluarkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian pada tahun 2011, luas total lahan gambut di tiga pulau utama, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua adalah 14.905.574 ha. Dengan luasan tersebut, Indonesia menjadi negara keempat yang mempunyai lahan gambut terluas di dunia. Akan tetapi, pemanfaatan dan pengembangan lahan gambut untuk pertanian masih sangat terbatas.
Luas lahan gambut di Kalimantan Barat, masih menurut buku yang sama adalah sekitar 1.680.135 ha, dengan luasan berimbang antara kedalaman dangkal (50-100 cm) sampai sangat dalam (> 300 cm). Upaya pemanfaatan lahan gambut di Indonesia, masih banyak menimbulkan kontroversi. Contohnya, disatu sisi lahan gambut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan budidaya pertanian. Namun di sisi lain, jika lahan gambut semakin banyak yang tereksploitasi, maka akan mempercepat terjadinya pemanasan global.
Potensi Bawang Merah di Lahan Gambut
Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah di Lahan Gambut
Pengembangan komoditas pertanian komersial bernilai ekonomi tinggi, pada umumnya memiliki ciri-ciri,  yaitu ketersediaannya terbatas, namun permintaan akan komoditas pertanian tersebut tinggi. Salah satu komoditas pertanian komersial ekonomi tinggi terebut adalah bawang merah. Peluang pasar untuk bawang merah di daerah-daerah yang mempunyai areal lahan gambut luas sangatlah besar. Dikarenakan sebagian besar bawang merah yang ada di pasar masih disupply dari pulau jawa dan sebagian besar petani di lahan gambut masih sedikit yang membudidayakan bawang merah. Pada beberapa pengkajian yang telah dilakukan oleh para peneliti dan lembaga riset menunjukkan, bahwa bawang merah mempunyai potensi yang sangat besar untuk bisa dibudidayakan dan dikembangkan di lahan gambut. Pengkajian yang telah dilakukan oleh Titiek Purbiati pada tahun 2012, menunjukkan bahwa bawang merah dapat dikembangkan di lahan gambut Kalimantan Barat, Kabupaten Kuburaya, dengan menghasilkan bobot kering sebanyak 11-12 ton/ha. Sedangkan pada tahun 2015 juga dilakukan pengkajian bawang merah di lahan gambut Kalimantan Barat, Kabupaten Kuburaya, oleh Dina Omayani dkk dimana hasil pengkajian menunjukkan bahwa bawang merah di lahan gambut dapat menghasilkan bobot kering sebanyak 7-8 ton/ha. Adapun beberapa jenis varietas bawang merah yang dapat memberikan hasil cukup tinggi jika ditanam di lahan gambut dari hasil kajian yaitu varietas Sumenep, Moujung dan Bima.
Petani Bawang Merah Lahan Gambut Kab. Rasau Jaya
Hasil Panen Bawang Merah di Lahan Gambut








Hambatan Bertani Bawang Merah di Lahan Gambut
Penggunaan lahan gambut untuk pengembangan tanaman sayuran, khususnya bawang merah masih ditemui beberapa kendala atau hambatan. Adapun kendala atau hambatan-hambatan yang biasa dijumpai pada saat melakukan usahatani bawang merah di lahan gambut adalah sebagai berikut :
1.    Sumber Daya Manusia

Sebagian besar petani yang bertani di lahan gambut, masih banyak yang belum mau untuk melakukan budidaya bawang merah di lahan gambut. Beberapa faktor penyebabnya yaitu, kurangnya pengetahuan petani tentang teknik budidaya bawang merah di lahan gambut. Faktor lainnya adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk bertani bawang merah di lahan gambut (terutama untuk penyediaan bibit bawang merah), dikarenakan para petani belum dapat menyediakan bibit bawang merah sendiri, sehingga bibit bawang merah harus dikirim dari Jawa dengan biaya kirim yang cukup tinggi.
Selain itu, hambatan juga datang dari sisi penyuluh pertanian yang masih sangat lemah dari segi pengetahuan, pengalaman dan ketrampilan dalam melakukan budidaya bawang merah di lahan gambut.
2.    Kondisi Lahan Gambut
Menurut Hardjowigeno, lahan gambut pada umumnya memiliki kandungan bahan organik lebih dari 30 % dan tebalnya lebih dari 40 cm. Sifat lahan gambut juga umumnya memiliki reaksi sangat masam, memiliki muka air tanah dangkal, rawan terhadap keracunan akibat asam-asam organik yang dilepaskan tanah gambut, serta rawan terbakar pada saat musim kemarau. Pengelolaan lahan gambut pada umumnya dengan memperbaiki tata air, melalui pembuatan saluran drainase sehingga daerah perakaran dapat ditanami. Pemberian amelioran seperti kapur diperlukan untuk mengurangi tingkat kemasaman pH tanah gambut. Penambahan pupuk anaorganik makro dan mikro juga diperlukan, demikian juga pupuk kandang maupun kompos. Sehingga petani memerlukan biaya yang lebih besar dan waktu yang cukup lama untuk menjadikan lahan gambut menjadi lahan yang subur dan bisa untuk ditanami bawang merah dengan mudah. Selain itu, penggunaan lahan gambut untuk pengembangan tanaman bawang merah juga masih banyak ditemui beberapa masalah, antara lain: kematangan tanah, ketebalan gambut bervariasi, penurunan permukaan gambut, rendahnya daya tumpu, rendahnya kesuburan tanah, adanya lapisan pirit (banyak mengandung besi) dan pasir, pH tanah yang sangat masam, kondisi lahan gambut yang jenuh air (tergenang) pada musim hujan dan kekeringan saat kemarau, serta rawan kebakaran.
3.    Tingginya tingkat serangan hama penyakit.
Hama penyakit merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya bawang merah di lahan gambut. Hama dapat menimbulkan gangguan pada tanaman secara fisik, dan disebabkan oleh serangga, tungau, dan moluska. Sedangkan penyakit, dapat menimbulkan gangguan fisiologis pada tanaman, dan disebabkan oleh cendawan, bakteri, fitoplama dan virus. Perkembangan hama penyakit dalam budidaya bawang merah di lahan gambut sangat dipengaruhi oleh dinamika iklim. Sehingga tidak heran, jika banyak ditemukan permasalahan hama penyakit pada tanaman bawang merah yang dibudidayakan di lahan gambut. Ada beberapa macam serangan hama penyakit yang biasa menyerang tanaman bawang merah yang dibudidayakan di lahan gambut antara lain :
a.    Ulat Bawang (Spodoptera exigua atau S. litura)
Hama ini dapat menyerang tanaman bawang merah sejak fase pertumbuhan awal (10 hst) sampai dengan fase pematangan umbi (55 hst). Ulat bawang melubangi ujung daun, lalu masuk ke dalam daun bawang. Ulat memakan permukaan daun bawang bagian dalam, hingga tinggal bagian epidermis luar. Sehingga daun bawang kelihatan menerawang tembus cahaya atau terlihat seperti bercak-bercak putih transparan dan akhirnya daun bawang terkulai.

b.    Moler (Fusarium oxysporum f.sp. cepae)
Dari hasil pengkajian bawang merah di lahan gambut Kalimantan Barat pada tahun 2015 yang dilakukan oleh Abdullah Umar dkk, menunjukkan bahwa adanya serangan penyakit Antraknosa, atau Otomatis, atau dapat pula disebut Moler. Gejala penyakitnya berupa bercak berwarna coklat kehitaman pada daun tanaman. Daun tanaman kemudian menjadi patah pada bagian yang mengalami bercak. Gejala pertama kali muncul pada umur tanaman 43-50 Hst. Dimana penyakit ini menginfeksi lewat perakaran dan umbi. Penyakit ini menyerang tanaman bawang merah di bagian dasar umbi lapis sehingga pertumbuhan akar dan umbi terganggu.
c.    Bercak Ungu atau Trotol
Dari hasil pengkajian bawang merah di lahan gambut Kalimantan Barat pada tahun 2012 yang dilakukan oleh Purbiati menunjukkan bahwa ada serangan penyakit bercak ungu A. porii atau trotol menyerang bawang merah sejak tanaman berumur 30 HST sampai menjelang panen. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan A. porii atau penyakit bercak ungu atau trotol ini, dapat ditularkan melalui udara dan berkembang dengan baik jika kelembapan udara tinggi. Penyakit ini termasuk penyakit  penting pada bawang merah, karena dapat menurunkan hasil produksi bawang merah secara nyata. Serangan penyakit oleh A. porii dapat menyebabkan kehilangan hasil produksi 35−40%. Adapun gejala yang ditimbulkan dari serangan penyakit ini adalah terjadinya bercak kecil, melekuk, berwarna putih sampai kelabu. Jika membesar, bercak tampak bercincin-cincin, warnanya agak keunguan dan ditepi daun kuning serta mengering ujungnya. Penyebaran penyakit ini melalui umbi atau percikan air dari tanah. Sehingga langkah preventif yang sebaiknya dilakukan jika ada hujan segera lakukan penyiraman setelah hujan berhenti.
d.   Rebah pangkal daun.
Tanaman bawang merah yang terserang penyakit ini dalam satu rumpun rebah, dapat terjadi secara mendadak. Pangkal daun menjadi lunak, sehingga tidak kuat menopang beban yang ada. Beberapa hari kemudian, seluruh bagian daun mengering. Sehingga tidak tersisa daun pada tanaman yang terserang atau tanaman menjadi gundul.
4.    Anomali Iklim yang ektrim.
Penyebab tingginya serangan penyakit untuk bawang merah, didominasi oleh curah hujan dan kelembapan yang tinggi dan tidak mudah untuk diprediksi. Sehingga saat musim penghujan tiba, akan mempercepat penularan tanaman yang sakit ke tanaman yang sehat. Hal ini memerlukan perhatian khusus supaya penularan beberapa serangan penyakit ini dapat dicegah.
Dalam melakukan usahatani bawang merah di lahan gambut, tidak semua kegiatan dapat dilakukan secara individual. Sebab itulah diperlukan kerjasama antar anggota kelompok tani. Misalnya dalam pemasaran, pengendalian hama penyakit dan pengairan. Dengan demikian, kelompok tani berperan sebagai media untuk bekerjasama antar anggota kelompok tani. Selain itu, kelompok tani juga dapat memfasilitasi kegiatan produksi bawang merah bagi anggota-anggotanya. Mulai dari penyediaan input, proses produksi, pascapanen, sampai dengan pemasaran hasilnya.
Kegiatan usahatani bawang merah merupakan kegiatan agribisnis yang berorientasi pada profit. Dalam hal ini, kelompok tani berperan sebagai agen bisnis yang dapat menggerakkan sumberdaya kolektif (tenaga, pikiran, dan dana) bagi kepentingan kelompok. Sehingga agribisnis bawang merah menjadi lebih efisien. Melihat potensi usahatani bawang merah di lahan gambut yang cukup besar dengan hambatan yang besar pula, maka kedepanya perlu adanya sinergisitas antara para peneliti, penyuluh pertanian dan para pengambil kebijakan untuk melakukan penelitian, pengkajian, dan pendampingan terkait budidaya bawang merah di lahan gambut ini secara lebih intensif.

Minggu, 19 Mei 2013

Kerusakan Ekosistem Lahan Gambut, Memicu Pemanasan Global


Indonesia tercatat sebagai Negara yang mempunyai lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 14,9 juta ha yang tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua (BBSDLP, 2011a). Dalam kondisi hutan alami, lahan gambut berperan sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan sangat lambat (0-3 mm gambut per tahun) (Parishet al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 ton CO2/ha/tahun (Agus, 2009). Namun, apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon yang tersimpan pada gambut akan dengan mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting). Selain itu lahan gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsidence) apabila hutan gambut terbuka. Oleh sebab itu diperlukan kehati-hatian dan perencanaan yang matang apabila akan mengalih fungsikan lahan gambut.

Lahan gambut yang masih berupa tutupan hutan, merupakan habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi lahan gambut menyimpan karbon (C ) dalam jumlah besar, baik di atas maupun dibawah permukaan tanah. Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam hidrologi kawasan hilir suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) karena mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Kerusakan ekosistem gambut akan berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di hilir DAS merupakan salah satu dampak rusaknya ekosistem gambut. Deforestrasi hutan dan penggunaan lahan gambut untuk sistem pertanian yang memerlukan drainase dalam (>50cm) serta pembakaran atau kebakaran menyebabkan emisi CO2 menjadi sangat tinggi (Agus dan Subiksa, 2008). Pengalih fungsian lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut.

Perluasan pemanfaatan lahan gambut sebagai sumber mata pencaharian meningkat begitu pesat di beberapa Provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur  dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dialih fungsikan seluas 1,83 juta hutan gambut dari luas total lahan gambut 3,8 juta ha di provinsi tersebut, bahkan laju pengalih fungsian lahan gambut cenderung melampaui pengalih fungsian hutan lahan mineral (WWF, 2008).

Tidak semua lahan gambut yang dialih fungsikan tersebut dimanfaatkan, hampir sebagian lahan gambut berubah menjadi lahan gambut terdegradasi yang ditutupi semak belukar, alang-alang dan paku resam.  Lahan gambut terdegradasi ini tetap menjadi sumber emisi disebabkan karena masih terpengaruh oleh drainase dan peka terhadap kebakaran di musim kemarau panjang. Oleh karena itu diperlukan pemetaan dan penyusunan strategi pengelolaan lahan gambut terdegradasi yang akan dijadikan sebagai dasar pengelolaan lahan gambut terdegradasi agar emisinya dapat diminimalkan dan manfaat ekonominya dapat ditingkatkan.

Lahan gambut yang terdegradasi secara eksisting dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dengan beberapa model atau basis usahatani, meliputi pangan, perkebunan bahkan kehutanan.   Sesuai potensi sosial, ekonomi dan lingkungan perlu dievaluasi kinerjanya, termasuk bagaimana peluang dari aplikasi demplot, apakah model demplot tersebut sesuai berdasarkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.  Model yang diaplikasikan di demplot perlu dievaluasi, apakah teknologi tersebut berdampak terhadap peningkatan produktivitas, mampu menurunkan tingkat emisi.  Kalau kinerja demplot mampu meningkatkan produktivitas dan dapat menekan emisi, seberapakah model tersebut akan berkelanjutan ? berdasarkan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.

Pengelolaan air merupakan salah satu komponen paling penting dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian.  Dengan menerapkan teknologi pengelolaan air yang tepat maka dampak negatif pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian (terutama emisi GRK dan subsiden) dapat dikurangi sampai  seminimal mungkin.

Perluasan areal pertanian terkendala oleh terbatasnya lahan-lahan yang sesuai sehingga terpaksa mengarah pada lahan-lahan sub optimal, termasuk lahan gambut. Indonesia mempunyai lahan gambut tropis terluas didunia, yaitu sekitar 14,9 juta hektar yang tersebar diSumatera,K alimantan, dan Papua. Hasil karakterisasi lahan menunjukkan sekitar 6 juta ha diantaranya cukup sesuai untuk pengembangan pertanian bila dilakukan reklamasi. Sampai saat ini sebagian lahan ini sudah dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan.

Namun secara inheren, lahan gambut memiliki daya dukung rendah terhadap pertumbuhan tanaman, baik dari aspek fisik, kimia maupun biologi tanahnya.Bulk density yang rendah menyebabkan kapasitas sangga (bearing capacity) rendah sehingga tanaman mudah roboh. Sifatnya yang masam, miskin hara serta kandungan asam organic fenolat  yang tinggi menyebabkan perkembangan akar dan pertumbuhan tanaman terganggu. Karena masam dan miskin hara, aktivitas biologi tanah juga sangat terbatas baik jenis maupun populasinya. Resultante dari semua sifat tanah ini menyebabkan gambut tergolong lahan marginal dan rapuh. Proses dekomposisi gambut yang disebabkan oleh aktivitas biologi menyebabkan emisi karbon dari lahan gambut tergolong tinggi.

Dalam dua dekade terakhir, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian menjadi polemik global. Pemanfaatan lahan gambut menjadi dilematis karena terjadi pertentangan antara aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Dari aspek ekonomi, jelas bahwa pemanfaatan lahan gambut telah menjadi sumber pendapatan bagi petani, perkebunan dan pemerintah daerah. Namun dari aspek lingkungan, pemanfaatan lahan gambut menjadi sumber emisigas rumah kaca (GRK) penyebab pemanasan global.

Fenomena pemanasan global dipicu oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca antropogenik di atmosfer. Sektor pertanian merupakan sumber dan rosot karbon gas rumah kaca yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitrogen oksida (N2O). Kontribusi gas CO2, CH4, N2O terhadap pemanasan global masing-masing adalah  55%, 15%, 6%.

Karbon dioksida (CO2) terbentuk melalui proses respirasi tanaman dan respirasi akar oleh mikroorganisme. CO2 merupakan bahan utama dalam proses fotosintesis, yaitu konversi CO2 menjadi bahan organik dengan bantuan sinar matahari. Metana (CH4) terbentuk melalui proses dekomposisi bahan organik secara anaerobik dalam tanah dan reduksi CO2 dan H2 yang melibatkan mikroorganisme methanogen (Methanobacterium, Methanosarcina, Methanobrevibacter, Methanoculleus, Methanogenium, Methanosaeta dan Methanospirillum). Dinitrogen oksida (N2O) terbentuk melalui proses mikrobiologis nitrifikasi dan denitrifikasi di dalam tanah.

Bahan organik yang telah mati dirombak menjadi CO2 dan H2O, dan sebagian hasil perombakan bahan organik disimpan dalam bentuk C-organik dalam tanah dan direspirasikan dalam bentuk CO2. Proses penyerapan CO2 dari atmosfer ke dalam tanah secara biotik dan pelepasan CO2 dari tanah kembali ke atmosfer terjadi melalui proses difusi dan dipengaruhi oleh perubahan suhu dan kadar air dalam tanah.

Pegelolaan lahan gambut yang tepat akan dapat mengantisipasi  kehilangan  karbon atau emisi  CO2 akibat terjadinya proses dekomposisi dan terbakarnya gambut. Lahan gambut yang mengalami proses dekomposisi dan tebakar akan menyebabkan terjadinya penurunan permukaan lahan (subsidence) yang cepat dan kehilangan karbon yang banyak,  akhirnya membentuk cekungan sehingga lahan tersebut tidak mungkin lagi didrainase. Dalam keadaan demikian, lahan tidak akan bisa lagi digunakan untuk sebagai komoditas pertanian dan kemampuannya untuk menyerap dan menyimpan air juga akan menurun sehingga lahan mudah kebanjiran dan kekeringan. Untuk itu diperlukan sistem pengendalian dan pencegahan terjadinya dekomposisi yang berlebihan dan kebakaran lahan gambut, sehingga dapat memperpanjang masa pakai lahan gambut, dan  sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.

Emisi karbon dari lahan gambut ditengarai sebagai penyumbang terbesar emisi karbon di Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai emiter terbesar ketiga di dunia. Sampai saat ini, data emisi karbon dari lahan gambut masih diduga mengandung ketidakpastian yang tinggi. Hal ini disebabkan karena data spasial dan karakteristik lahan gambut masih sangat terbatas. Perhitungan nilai total emisi dari lahan gambut didasarkan atas generalisasi kondisi gambut di Indonesia.  Salah satu isu utama adalah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari lahan gambut terutama disebabkan karena kebakaran gambut dan dekomposisi yang dipicu oleh pembukaan lahan untuk pertanian.

          Pengukuran emisi karbon langsung di lahan menjadi sangat penting untuk mengurangi ketidak pastian (uncertainties) dan memperoleh hasil yang akurat. Pengukuran emisi karbon secara periodik dalam jangka panjang (time series) masih sangat jarang dilakukan karena keterbatasan alat dan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) dan institusi yang terampil dan terlatih. Selain itu, pengetahuan besarnya cadangan karbon di berbagai penggunaan lahan gambut menjadi penting karena dapat memberikan data dukung banyak karbon tersimpan dan hilangnya karbon dari tanah dan tanaman. Untuk itu, kegiatan peningkatan kemampuan SDM (capasity building) untuk melakukan pengukuran emisi, cadangan karbon dan kegiatan pendukung lainnya sangat mendesak dilakukan karena menyangkut area sangat luas dan tingkat kesulitan yang tinggi. Oleh karenanya perlu dilakukan pelatihan intensif terhadap warga-warga di daerah agar mereka memahami secara teoritis maupun melakukan pengukuran emisi, cadangan karbon secara tepat dalam upaya pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

          Upaya peningkatan daya dukung lahan gambut untuk pertanian telah dilakukan melalui serangkaian penelitian, baik oleh lembaga penelitian maupun perguruan tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air, ameliorasi dan pemupukan menjadi kunci peningkatan produktivitas lahan. Drainase yang disesuaikan dengan kebutuhan tanaman mampu mengurangi kondisi drainase berlebihan (over drained) yang memicu emisi karbon. Pengalaman empiris, baik oleh petani maupun lembaga penelitian menunjukkan bahwa pupuk kandang serta bahan amelioran yang kaya dengan kation polivalen menjadi amelioran yang sangat efektif untuk meningkatkan produktivitas lahan dan stabilitas gambut. Stabilitas gambut sangat terkait dengan adanya proses kompleksasi asam-asam organik sehingga lebih tahan terhadap degradasi sehingga emisi karbon berkurang. Kompleksasi asam-asam organic fenolat oleh kation polivalen mengurangi sifat meracun asam-asam tersebut sehingga perkembangan akar tanaman tidak terganggu. Pemupukan dengan pupuk makro dan mikro penting untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman.Ameliorasi dan pemupukan bersifat sinergis karena ameliorasi meningkatkan efektivitas pemupukan.

Mengingat bahwa pemanfaatan lahan gambut adalah suatu yang dilematis, maka pengelolaannya harus dilakukan secara terencana  didukung oleh teknologi yang teruji dapat menurunkan atau memperkecil emisi GRK, namun secara simultan dapat meningkatkan produktivitas dan keuntungan usaha tani.
(Disadur dari Juknis Kegiatan Penelitian Indonesian Climate Change Trust Fund (ICCTF) Kementan oleh Syahri).

Selasa, 14 Mei 2013

DAMPAK PENGGUNAAN LAHAN GAMBUT UNTUK BUDIDAYA KELAPA SAWIT YANG MENGABAIKAN KELESTARIAN



Penggunaan lahan gambut untuk pertanian dan usaha-usaha yang berkaitan dengan pertanian saat ini berkembang begitu pesat. Ratusan ribu hektar lahan gambut dialih fungsikan dan dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Lahan gambut menjadi kawasan yang sangat prospektif untuk perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Namun akhir-akhir ini banyak menuai protes dari para pemerhati dan penggiat lingkungan hidup baik dari dalam negeri maupuan dari luar negeri. Hal ini didasari atas kekhawatiran akan rusaknya lahan gambut sebagai fungsi ekosistem yang kompleks.
Walaupun memiliki fungsi strategis, alih fungsi lahan gambut masih terus berlangsung, baik untuk lahan pertanian maupun pemukiman. Beragamnya bentuk alih fungsi menyebabkan terjadinya penurunan (degradasi) fungsi strategis lahan gambut, sehingga meningkatkan luas kawasan lahan kritis. Seperti fungsi hidrologis, yang berperan penting pada sistem biosfir, dimana sebagai sumber karbon, pengendali sirkulasi CO2 lahan gambut sangat berpengaruh besar pada kondisi keseimbangan karbon di atmosfer. Selama ini sistem pengelolaan hutan rawa gambut umumnya tidak memperhatikan sifat inheren gambut dan melupakan prinsip-prinsip kelestariannya sehingga berpotensi lahan rawa gambut akan mengalami kerusakan dan sulit untuk diperbaharui.
Terjadinya penurunan fungsi lahan gambut, salah satunya diakibatkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat terhadap karakteristik gambut pada kondisi alami. Pengetahuan mengenai keaneka-ragaman karakteristik gambut pada kondisi masih alami menjadi sangat diperlukan, supaya masyarakat dapat mengelola dengan bijak (benar dan tepat) yaitu bermanfaat secara ekonomi dengan tidak mengesampingkan fungsi lingkungan.
Potensi lahan gambut sangat besar untuk usaha pertanian, disamping itu lahan gambut yang belum dimanfaatkan masih sangat luas, akan tetapi pemanfaatan lahan gambut tersebut harus dilakukan dengan senantiasa memperhatikan prinsip kelestarian dan mencegah terjadinya degradasi yang dampaknya cukup luas baik terhadap sumber kehidupan manusia maupun terhadap fisik lingkungan. Reklamasi lahan gambut harus memegang prinsip bahwa gambut merupakan lahan marginal dan mudah terdegradasi. Gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter termasuk kategori kawasan hutan lindung yang tidak boleh diganggu.
Berbagai jenis tanaman semusim dan tanaman tahunan dapat dibudidayakan pada lahan gambut akan tetapi yang paling berhasil atau menunjukkan harapan adalah tanaman perkebunan terutama kelapa sawit. Seperti di beberapa daerah seperti di Sumatera dan Kalimantan.
Produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut tidak kalah baiknya dengan yang di lahan mineral, produksi kelapa sawit pada lahan gambut dengan kerapatan populasi 185 pokok per hektar pada tahun ke delapan panen adalah 24 ton/ha/tahun sedangkan pada umur panen 5 – 8 tahun menghasilkan TBS mencapai 26,4 ton/ha
Tingkat keberhasilan dari budidaya kelapa sawit di lahan gambut merupakan upaya yang terintegrasi dari berbagai kegiatan, mulai dari pembukaan lahan, penanaman dengan menggunakan bibit yang unggul dan sesuai, pemeliharaan tanaman baik pemupukan maupun pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman, manajemen pengelolaan drainase dll. Seperti diketahui bahwa lahan gambut merupakan lahan yang rapuh atau marginal sehingga apabila salah dalam mengelolanya akan berdampak pada kerusakan fungsi gambut itu sendiri. Apabila kondisinya sudah rusak maka akan sulit untuk memperbaikinya.
Dampak Pembangunan Kelapa Sawit di Lahan Gambut
Dampak terhadap Kelestarian Lingkungan
Kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit meliputi pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengangkutan, pengolahan hasil dan pemasaran. Kegiatan-kegiatan tersebut dampaknya akan berbeda jauh ketika dilakukan di lahan gambut, dibandingkan dengan dilakukan di lahan mineral, mengingat lahan gambut merupakan lahan yang unik dan rentan terhadap kerusakan
1.      Pembukaan lahan
Akibat pembangunan kelapa sawit yang mengesampingkan kelestarian akan berdampak terhadap lingkungan diantaranya adalah lenyapnya vegetasi alam serta flora dan fauna yang unik dan akan menjadi sangat berbahaya apabila mengalami kepunahan yang total pada sebagian besar kawasan di Indonesia. Pembukaan lahan gambut akan menurunkan fungsi hutan gambut sebagai pemasok bahan-bahan yang bernilai ekonomi seperti kayu, ikan dan daging satwa, rotan, getah dan tanaman obat yang biasa dimanfatkan oleh masyarakat lokal. Pembukaan lahan gambut juga akan menurunkan fungsi konservasi bagi spesies langka dan dilindungi, satwa langka dan tumbuhan penting, komunitas dan ekosistem.
2.      Pembuatan Kanal Drainase
Pembukaan kanal-kanal drainase akan mengurangi fungsi lahan gambut sebagai pengendali hidrologi wilayah yang berfungsi sebagai penambat air dan mencegah banjir dan kebakaran, karena berubahnya sifat fisik gambut diakibatkan oleh adanya drainase yang berlebih sehingga berdampak pada pengeringan gambut. Penuruan muka air tanah juga akan mempercepat laju pemadatan tanah (subsidensi), sehingga akan mengurangi kemampuanya dalam menyimpan air. Penurunan muka gambut mambuat lahan menjadi amblas. Subsidensi gambut di lahan perkebunan kelapa sawit ditandai dengan rebahnya pokok sawit atau pokok doyong. Kondisi ini tentu merugikan kebun itu sendiri. Drainase yang berlebih juga berpotensi munculnya pirit atau tanah dengan sulfat masam dan intrusi air laut
3.      Kebakaran Lahan
Kebakaran pada lahan gambut terjadi karena pembukaan lahan gambut dengan cara membakar, rata-rata menurunkan tingkat permukaan gambut sekitar 10 cm. Penurunan tanah gambut setiap 10 cm maka akan berakibat tanah akan kehilangan kemampuan menyimpan air sebanyak 800 m3 per hektar.
4.      Emisi Gas Rumah Kaca.
Lahan gambut dengan vegatasi tanaman kelapa sawit akan menghasilkan emisi karbon (CO2) sebanyak 1.540 g C/m2/tahun. Sebaliknya tanaman kelapa sawit di lahan gambut selama lima tahun akan menyimpan karbon sebanyak 27 ton C/ha, yang disumbangkan dari batang, pelepah dan akarnya. Emisi gas tersebut akan meningkat seiring dengan menurunnya tinggi muka air tanah akibat drainase yang berlebih.
Untuk meminimalkan dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit pada lahan gambut yang sudah berjalan maupun yang akan dilakukan, maka perlu suatu strategi atau upaya pengelolaan yang baik dan benar yang memenuhi kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Upaya-upaya tersebut yang sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan gambut. apabila hutan rawa gambut diperlakukan secara baik dan benar sesuai dengan kemampuan/daya dukung lahan gambutnya, maka hasil yang diperoleh mampu memberikan sesuatu yang menjanjikan. Sebaiknya pengelolaan lahan dilakukan dengan memperhatikan ekosistem lahan gambut, kubah gambut sama sekali tidak boleh dibuka. Saluran drainase pada lahan gambut harus diatur dengan sangat ketat agar mampu mempertahankan muka air, termasuk muka air tanah yang sesuai dengan kebutuhan ruang perakaran tanaman.
Secara khusus hal-hal yang harus diperhatikan untuk menahan laju degradasi lahan gambut pada lahan perkebunan kelapa sawit adalah memembuat suatu sistem tata air (water management system) yang betul-betul terencana dengan baik sehinga dapat memperhatikan tinggi muka air yang sesuai. Secara umum tinggi muka air tanah gambut pada lahan kelapa sawit adalah 60 cm di bawah permukan tanah. Dengan kedalaman muka air tanah 60 cm, diharapkan kelembaban tanah di bagian atasnya akan tetap terjaga (terhindar dari kekeringan) dan dilain pihak perakaran tanaman tidak tergenang.
Pengaturan tinggi muka air tanah dapat dilakukan dengan membuat pintu-pintu pengatur air pada kanal-kanal drainase dan memonitornya setiap saat sebagai upaya mengantisipasi kelebihan air yang mengakibatkan areal tergenang ataupun kekurangan air yang mengakibatkan kekeringan. Untuk mempertahankan keanekaragaman hayati maka lahan-lahan yang menjadi kawasan lindung harus tetap dipertahankan, Oleh karena itu perlu dilakukan analisis tentang keanekaragaman hayati yang mempunyai nilai konservasi tinggi atau high covservation value (HCV) selajutnya melakukan pembatasan-pembatasan dan upaya pengelolaannya. 
Upaya untuk mencegah kebakaran lahan gambut adalah dengan tidak membuka lahan dengan cara bakar, tidak melakukan drainase yang berlebihan, membuat menara pemantau api, membuat regu pemadam yang dilengkapi dengan peralatannya dll, yang sifatnya mudah dilakukan di lapangan. (by: Syahri)